Sabtu, 12 Juli 2025
Pertanyaan Keadilan: Akankah Penjahat Perang Suriah Dihukum
Pertanyaan Keadilan: Akankah Penjahat Perang Suriah Dihukum

Pertanyaan Keadilan: Akankah Penjahat Perang Suriah Dihukum

Pertanyaan Keadilan: Akankah Penjahat Perang Suriah Dihukum

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Pertanyaan Keadilan: Akankah Penjahat Perang Suriah Dihukum
Pertanyaan Keadilan: Akankah Penjahat Perang Suriah Dihukum

Pertanyaan Keadilan sejak pecahnya konflik Suriah pada tahun 2011, negara ini telah menjadi salah satu medan konflik paling brutal di abad ke-21. Apa yang awalnya di mulai sebagai gelombang protes damai menuntut reformasi politik, dengan cepat berubah menjadi perang sipil berdarah yang melibatkan berbagai aktor: pemerintah Suriah yang di pimpin Bashar al-Assad, kelompok pemberontak, milisi Islamis, hingga kekuatan asing seperti Rusia, Iran, Amerika Serikat, dan Turki. Dalam kekacauan inilah muncul beragam laporan mengenai pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional, yang kini memicu pertanyaan besar: akankah para pelaku kejahatan perang di Suriah benar-benar di adili?

Berbagai organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International, telah mendokumentasikan ribuan kasus dugaan kejahatan perang. Pemerintah Assad di tuduh melakukan pengeboman terhadap wilayah sipil, penggunaan senjata kimia, serta penyiksaan sistematis terhadap tahanan di pusat-pusat penahanan. Sementara itu, kelompok bersenjata oposisi seperti Hay’at Tahrir al-Sham dan ISIS juga di tuding melakukan eksekusi massal, penculikan, dan penyerangan terhadap minoritas agama.

Komisi Penyelidikan Internasional Independen untuk Suriah yang di bentuk oleh Dewan HAM PBB menyebut bahwa seluruh pihak dalam konflik Suriah telah melakukan tindakan yang dapat di kategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, hingga kini belum ada mekanisme peradilan internasional yang secara aktif menangani kasus-kasus ini.

Pertanyaan Keadilan dengan masalah utama terletak pada ketidakmampuan Dewan Keamanan PBB untuk merujuk kasus Suriah ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Hak veto dari negara-negara berpengaruh seperti Rusia dan China kerap menghalangi langkah-langkah ke arah keadilan. Hal ini menciptakan kekosongan hukum di tingkat global, dan memperbesar kekhawatiran bahwa para pelaku kejahatan akan terus lolos dari tanggung jawab.

Peran Mahkamah Internasional Dan Hambatan Politik Global

Peran Mahkamah Internasional Dan Hambatan Politik Global seharusnya menjadi instrumen utama untuk mengadili kejahatan perang, namun dalam konteks Suriah, peran ICC sangat terbatas. Suriah bukan negara anggota Statuta Roma—perjanjian pendirian ICC—sehingga yurisdiksi ICC tidak berlaku otomatis atas kejahatan yang terjadi di wilayahnya. Satu-satunya cara agar ICC dapat menyelidiki kejahatan di Suriah adalah melalui rujukan dari Dewan Keamanan PBB. Sayangnya, hal ini hingga kini tidak pernah terjadi.

Pada tahun 2014, Perancis dan sejumlah negara anggota Dewan Keamanan mengusulkan resolusi untuk merujuk Suriah ke ICC. Namun, Rusia dan China menggunakan hak veto mereka untuk menggagalkan upaya tersebut. Rusia, sebagai sekutu utama rezim Assad, memandang intervensi hukum internasional terhadap Suriah sebagai bentuk campur tangan dalam urusan dalam negeri dan sebagai alat politik Barat untuk menggulingkan sekutunya.

Situasi ini menimbulkan di lema besar dalam sistem hukum internasional. Di satu sisi, prinsip akuntabilitas dan keadilan harus di tegakkan, terlebih dalam kasus pelanggaran HAM berat. Di sisi lain, realitas politik global sering kali membuat hukum menjadi subordinat dari kepentingan geopolitik. Ini memperlihatkan keterbatasan serius dalam struktur hukum internasional saat berhadapan dengan negara-negara kuat atau aktor yang memiliki pelindung di tingkat global.

Sebagai respons terhadap kebuntuan tersebut, beberapa negara Eropa mulai menerapkan prinsip yurisdiksi universal, yang memungkinkan mereka mengadili kejahatan berat tanpa memperhatikan tempat kejahatan terjadi. Jerman, Swedia, dan Belanda telah menahan dan mengadili sejumlah tersangka kejahatan perang Suriah yang berada di wilayah mereka. Namun, cakupan tindakan ini masih sangat terbatas dan tidak menyentuh aktor-aktor tingkat tinggi seperti pejabat senior militer atau pimpinan politik di Damaskus.

Akibatnya, pertanyaan keadilan tetap menggantung: bisakah komunitas internasional benar-benar membawa para penjahat perang Suriah ke pengadilan? Ataukah sistem hukum global akan terus di bayangi oleh veto, kompromi politik, dan impunitas?

Pertanyaan Keadilan Suara Para Korban: Keadilan Yang Terus Tertunda

Pertanyaan Keadilan Suara Para Korban: Keadilan Yang Terus Tertunda yang mengerikan, ada jutaan korban yang hidup dengan trauma mendalam akibat konflik Suriah. Para penyintas penahanan, keluarga korban hilang, dan pengungsi yang tersebar di berbagai negara terus menantikan momen ketika keadilan benar-benar di tegakkan. Namun bagi banyak dari mereka, harapan tersebut kian memudar seiring waktu yang terus berjalan tanpa kejelasan akuntabilitas.

Laporan dari organisasi seperti Caesar Files Group, yang di dasarkan pada ribuan foto penyiksaan dan kematian di penjara-penjara rezim Assad, memperlihatkan betapa sistematis dan kejamnya pola penyiksaan terhadap tahanan sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Banyak penyintas yang kini berada di pengasingan, tidak hanya menghadapi luka fisik dan psikologis, tetapi juga menghadapi ketidakadilan karena pelaku kekerasan terhadap mereka belum pernah di mintai pertanggungjawaban.

Kesaksian para korban menunjukkan pola penyiksaan, pemerkosaan, kelaparan paksa, dan kematian perlahan dalam penahanan. Sejumlah penyintas mengaku di paksa menyaksikan penyiksaan terhadap keluarga mereka sendiri. Bagi mereka, keadilan bukan hanya soal menghukum pelaku, tetapi juga tentang pengakuan publik bahwa kekejaman yang mereka alami adalah nyata dan tidak boleh di lupakan.

Sayangnya, banyak dari suara-suara ini tenggelam dalam narasi politik global. Ketika negara-negara besar bersilang kepentingan, kisah para korban menjadi sekadar catatan dalam laporan PBB atau dokumen NGO. Mereka merasa di abaikan, terlupakan, dan bahkan di politisasi oleh pihak-pihak yang menjadikan penderitaan mereka sebagai alat diplomasi.

Beberapa inisiatif lokal, seperti pusat dokumentasi kejahatan perang yang di kelola diaspora Suriah. Di Eropa, berusaha mengumpulkan bukti dan menyimpan arsip kesaksian korban. Mereka berharap suatu hari nanti, data ini bisa di gunakan dalam pengadilan internasional. Namun untuk saat ini, keadilan tetap menjadi janji yang tertunda, meninggalkan luka kolektif yang belum tersembuhkan di tubuh rakyat Suriah.

Prospek Masa Depan: Antara Pengadilan Dan Pengampunan

Prospek Masa Depan: Antara Pengadilan Dan Pengampunan atas konflik panjang dan kejahatan berat di Suriah. Muncul dua pendekatan utama: pengadilan dan rekonsiliasi. Di satu sisi, ada dorongan kuat dari komunitas korban dan lembaga HAM. Untuk mengadili para pelaku, terutama pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas kejahatan sistematis. Di sisi lain, ada pihak yang mulai mendorong jalan rekonsiliasi nasional, termasuk pemberian amnesti terbatas demi memfasilitasi perdamaian politik.

Model rekonsiliasi pernah berhasil diterapkan di negara-negara lain seperti Afrika Selatan. Melalui Truth and Reconciliation Commission, tetapi kasus Suriah dianggap jauh lebih kompleks. Skala kekejaman, keterlibatan banyak aktor asing, serta polarisasi sosial yang mendalam membuat. Pendekatan ini dipandang berisiko jika dilakukan tanpa akuntabilitas yang jelas.

Saat ini, satu-satunya jalur yang masih terbuka secara realistis adalah melalui pengadilan nasional berbasis yurisdiksi universal. Beberapa keberhasilan telah dicapai, misalnya pengadilan di Koblenz, Jerman, yang menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. Kepada mantan pejabat intelijen Suriah karena keterlibatannya dalam penyiksaan tahanan. Namun, upaya ini masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan skala pelanggaran yang terjadi.

Komunitas internasional juga mulai menyuarakan pentingnya mendirikan pengadilan ad hoc internasional. Khusus untuk Suriah, mirip dengan yang pernah dilakukan untuk Rwanda atau bekas Yugoslavia. Namun usulan ini masih terkendala dukungan politik, logistik, dan biaya yang sangat besar.

Sebagian pengamat menyarankan jalan tengah: kombinasi antara pengadilan dan rekonsiliasi terbatas. Artinya, tokoh-tokoh tingkat bawah dan menengah dapat memperoleh pengampunan jika mereka bersedia bersaksi dan memberikan bukti terhadap atasan mereka. Pendekatan ini berpotensi membuka pintu kebenaran sekaligus memecah kebuntuan politik yang menghambat keadilan selama ini.

Pada akhirnya, pertanyaan tentang keadilan untuk Suriah masih menggantung di udara. Akankah dunia memilih untuk menutup mata dan membiarkan kekejaman berlalu begitu saja. Atau justru menjadikan Suriah sebagai momentum untuk memperkuat sistem hukum internasional dan membuktikan. Bahwa tidak ada pelaku kejahatan yang berada di atas hukum dengan Pertanyaan Keadilan.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait