
Daya Beli Masyarakat dan Tantangan Ekonomi Nasional
Daya Beli Masyarakat dan Tantangan Ekonomi Nasional

Daya Beli Masyarakat Terus Mengalami Tekanan Dalam Waktu Terakhir Yang Menjadi Tantangan Yang Di Hadapi Perekonomian Indonesia. Dalam hal ini, Bank Indonesia mencatat bahwa pelemahan ini semakin terlihat menjelang perayaan Ramadan dan Idul Fitri tahun 2025. Lebih lanjut, berdasarkan survei terhadap penjualan eceran di berbagai wilayah, terjadi perlambatan konsumsi. Yang mana, ini mencerminkan ketidakstabilan ekonomi masyarakat. Kemudian, data menunjukkan bahwa Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Februari 2025 mengalami penurunan sebesar 0,5 persen. Hal ini, jika di bandingkan dengan bulan yang sama pada tahun sebelumnya. Yang walaupun terdapat sedikit kenaikan pada angka penjualan eceran sebesar 0,8 persen dibandingkan Januari 2025. Tercatat pertumbuhan ini belum cukup untuk mengimbangi tren kontraksi yang sudah terjadi sebelumnya. Bahkan, pada Januari 2025, penjualan eceran merosot tajam hingga 4,7 persen. Di mana, kondisi ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih belum pulih sepenuhnya.
Sehingga, di perlukan upaya strategis dari berbagai pihak untuk mendorong pemulihan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ronny P Sasmita selaku Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) turut memberikan pandangannya terhadap kondisi ini. Di mana, ia menilai bahwa hasil survei penjualan ritel yang mengalami penurunan sejalan dengan semakin berkurangnya kepercayaan konsumen terhadap kondisi perekonomian nasional. Lebih lanjut, menurutnya Bank Indonesia telah memberikan indikasi yang jelas. Kondisi ini terkait daya beli masyarakat yang lemah berkorelasi erat dengan turunnya tingkat keyakinan konsumen.
Kemudian, hal ini tercermin dalam data Produk Domestik Bruto (PDB) yang menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan pertumbuhan. Serta, kondisi ini tidak mampu melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang berada di angka 5 persen. Sehingga berdasarkan data tersebut, konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh sekitar 4,5 persen. Yang mana, ini menjadi salah satu indikator bahwa daya beli masyarakat mengalami tekanan serius.
Faktor Utama Yang Menyebabkan Daya Beli Masyarakat Melemah
Selain berdampak pada sektor ritel, melemahnya daya beli masyarakat juga berpengaruh terhadap sektor jasa. Hal ini terutama industri perhotelan dan restoran. Di mana pengurangan anggaran belanja pemerintah untuk perjalanan dinas semakin memperparah kondisi ini. Hal ini di sebabkan, sektor tersebut bergantung pada aktivitas konsumsi dari instansi pemerintah maupun masyarakat umum. Sehingga di perkirakan, penurunan permintaan pada sektor jasa akibat pemotongan anggaran ini dapat mencapai 20-30 persen. Jika situasi ini terus berlangsung, maka dampak lanjutan yang mungkin terjadi adalah pemutusan hubungan kerja secara masif di sektor jasa. Dengan demikian, pada akhirnya daya beli masyarakat yang sudah melemah dapat semakin terpuruk akibat bertambahnya jumlah tenaga kerja yang kehilangan sumber pendapatan.
Kemudian, salah satu Faktor Utama Yang Menyebabkan Daya Beli Masyarakat Melemah adalah semakin terbatasnya peluang kerja. Hal ini terlihat dari angkatan kerja baru yang mengalami kesulitan. Terutama, dalam memperoleh pekerjaan yang menawarkan pendapatan stabil. Selain itu, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) juga memperburuk keadaan. Di mana, data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menunjukkan bahwa puluhan ribu buruh terkena PHK dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini mengakibatkan daya beli masyarakat mengalami penurunan. Karena banyak individu yang kehilangan sumber penghasilan dan akhirnya memilih untuk mengurangi pengeluaran konsumsi guna mengantisipasi ketidakpastian ekonomi yang mereka hadapi.
Tidak hanya itu, banyak masyarakat yang beralih ke sektor informal untuk mencari alternatif sumber pendapatan. Namun sayangnya, pekerjaan di sektor informal tidak memberikan kepastian penghasilan. Serta, kondisi ini tidak menawarkan tunjangan seperti Tunjangan Hari Raya (THR), yang selama ini berperan sebagai pendorong konsumsi menjelang perayaan keagamaan. Sehingga dengan kondisi seperti ini, kemampuan beli masyarakat semakin terdampak. Ini di karenakan mereka cenderung mengutamakan kebutuhan pokok dan menekan pengeluaran untuk barang atau jasa yang bersifat sekunder. Meskipun kemampuan beli masyarakat tengah mengalami tekanan, terdapat fenomena peningkatan konsumsi selama Ramadan yang terjadi akibat adanya pergeseran pola pengeluaran.
Di Pengaruhi Oleh Meningkatnya Harga Bahan Pangan
Masyarakat yang terbiasa mengeluarkan uang untuk makan siang di hari-hari biasa kini mengalihkan anggaran tersebut untuk membeli makanan berbuka puasa. Situasi ini mirip dengan tren peningkatan konsumsi yang kerap terjadi saat perayaan Natal dan Tahun Baru. Namun, dalam konteks Ramadan saat ini, kenaikan konsumsi ini lebih Di Pengaruhi Oleh Meningkatnya Harga Bahan Pangan. Yang mana, ini sering kali mengalami lonjakan selama bulan suci tersebut. Ronny P Sasmita menegaskan lebih lanjut bahwa meskipun daya beli masyarakat. Hal ini terutama di kelas menengah yang mengalami tekanan. Sehingga, dampak ekonomi dari peningkatan konsumsi selama Ramadan tetap dapat memberikan kontribusi positif. Yang mana, ini khususnya bagi perekonomian secara keseluruhan. Lebih lanjut, ia menyebut bahwa konsumsi yang bersifat kultural dan memiliki nilai religius akan tetap berjalan. Sehingga pada akhirnya, dapat menjadi salah satu faktor yang menjaga dinamika perekonomian di tengah berbagai tantangan yang ada.
Kemudian, dari sudut pandang lain, meningkatnya belanja masyarakat selama Ramadan juga memberikan peluang bagi para pelaku usaha. Dalam hal ini peluang bagi pelaku tersebut di rasakan terutama dari sektor kuliner. Yang mana, sektor baik usaha mikro, kecil, maupun menengah menjadi sisi yang paling di untungkan dari potensi peluang kondisi ini. Dapat di lihat, sektor ini dapat memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan pendapatan mereka. Bahkan, usaha rumah tangga yang bersifat musiman dan hanya beroperasi selama bulan puasa berpotensi meraih keuntungan. Mengingat, dari meningkatnya konsumsi makanan dan minuman selama periode Ramadhan. Dengan demikian, daya beli masyarakat dapat sedikit terdorong oleh adanya peningkatan aktivitas ekonomi di sektor-sektor tertentu yang mendapat manfaat langsung dari tradisi Ramadan.
Berpengaruh Terhadap Stabilitas Ekonomi Nasional Dalam Jangka Panjang
Daya beli masyarakat tetap menjadi faktor krusial dalam dinamika perekonomian nasional. Hal ini dapat di lihat, terutama dalam beberapa bulan terakhir ketika tekanannya semakin terasa. Sehingga, dengan kondisi melemahnya daya beli masyarakat memberikan dampak luas. Hal ini terutama bagi sektor-sektor yang sangat bergantung pada konsumsi domestik. Dengan beberapa faktor utama yang menyebabkan kondisi ini antara lain terbatasnya peluang kerja. Mengingat, meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK). Kemudian, di perparah dengan bertambahnya jumlah pekerja di sektor informal yang tidak memiliki kepastian pendapatan.
Terakhir, meskipun terjadi sedikit peningkatan konsumsi selama bulan Ramadan. Namun, secara keseluruhan daya beli masyarakat masih berada dalam tekanan berat. Lebih lanjut, jika kondisi ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin akan Berpengaruh Terhadap Stabilitas Ekonomi Nasional Dalam Jangka Panjang. Oleh karena itu, sangat penting dan di perlukan kebijakan strategis untuk menyeimbangkan perekonomian. Sehingga pada akhirnya, ini mengatasi akar permasalahan yang membuat daya beli masyarakat terus melemah. Di mana, pemerintah bersama berbagai pemangku kepentingan harus berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Serta, kondisi ini juga dapat menciptakan stabilitas di sektor ketenagakerjaan. Di mana, ini semua bertujuan agar daya beli masyarakat kembali pulih. Serta, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan melalui pemulihan Daya Beli Masyarakat.