Jum'at, 13 Juni 2025
Perkawinan Anak Di Lombok Termasuk Pelanggaran Berat
Perkawinan Anak Di Lombok Termasuk Pelanggaran Berat

Perkawinan Anak Di Lombok Termasuk Pelanggaran Berat

Perkawinan Anak Di Lombok Termasuk Pelanggaran Berat

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Perkawinan Anak Di Lombok Termasuk Pelanggaran Berat
Perkawinan Anak Di Lombok Termasuk Pelanggaran Berat

Perkawinan Anak Kembali Menjadi Sorotan Setelah Sebuah Kasus Viral Terjadi Di Kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam kasus tersebut, seorang anak laki-laki berusia 17 tahun menikahi anak perempuan yang masih berusia 15 tahun. Menanggapi hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyampaikan kecaman keras dan menegaskan bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak-hak anak. Menurut Arifah, praktik perkawinan usia anak tidak dapat di benarkan dengan alasan apa pun. Hal ini termasuk adat, budaya, atau tekanan sosial. Ia menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan masa depanyang layak. Ini juga termasuk hak atas pendidikan, perlindungan dari kekerasan, serta kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai usianya. “Perkawinan anak bukan hanya soal tradisi, ini menyangkut masa depan generasi penerus bangsa. Ketika anak-anak di nikahkan di usia dini, mereka kehilangan banyak hak dasar yang seharusnya mereka nikmati,” ujar Arifah dalam keterangannya, Kamis (29/5/2025).

Lebih lanjut, Arifah menyatakan bahwa negera memiliki kewajiban untuk memastikan perlindungan terhadap setiap anak Indonesia. Ia juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan sudah jelas menetapkan batas minimal usia pernikahan, yaitu 19 tahun untuk laki-laki maupun perempuan. Dalam konteks ini, pernikahan yang terjadi di Lombok Tengah jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku. Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah daerah, untuk bersama-sama mencegah terjadinya perkawinan anak. Edukasi tentang dampak negatif dari pernikahan dini di nilai sangat penting untuk membangun kesadaran kolektif.

“Perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama. Kita harus menciptakan lingkungan yang mendukung anak-anak untuk menggapai cita-citanya. Hal ini bukan membatasi masa depannya dengan praktik yang merugikan,” tutup Arifah.

Kekerasan Yang Terselubung Dalam Bentuk Perkawinan Anak

Ia menegaskan bahwa batas usia minimial untuk menikah di Indonesia adalah 19 tahun. Hal ini baik untuk laki-laki maupun perempuan. Ketentuan ini telah di atur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurutnya, aturan tersebut di buat bukan tanpa alasan. Melainkan, demi menjamin perlindungan terhadpa hak-hak anak dan memberikan ruang bagi mereka untuk tumbuh. Serta, juga berkembang secara optimal sebelum memasuki kehidupan rumah tangga. Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa praktik menikahkan anak di bawah usia yang di tentukan bukan hanya bentuk pelanggaran hukum. Tetapi, juga dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius. Pelaku yang terlibat dalam pernikahan tersebut, baik itu orang tua, wali, maupun pihak lain, dapat di kenai sanksi pidana maupun administratif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak mentoleransi tindakan yang mengorbankan masa depan anak demi alasan budaya, ekonomi, atau tekanan sosial.

“Pemerintah terus berkomitmen untuk melindungi setiap anak dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk Kekerasan Yang Terselubung Dalam Bentuk Perkawinan Anak. Kita harus memahami bahwa pernikahan yang di lakukan di usia dini dapat memutus akses anak. Hal ini khususnya terhadap pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang layak,” ujarnya. Ia juga menegaskan bahwa pemaksaan terhadap anak untuk menikah bukan sekadar pelanggaran moral dan sosial. Tetapi, telah masuk dalam kategori kekerasan seksual sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam Pasal 4 undang-undang tersebut, di sebutkan secara eksplisit bahwa pemaksaan perkawinan terhadap anak merupakan bentuk kekerasan seksual yang dapat di tuntut secara hukum.

Karena itu, ia mengajak semua pihak, termasuk keluarga, tokoh masyarakat, pendidik, dan pemerintah daerah, untuk bekerja sama dalam mencegah praktik ini. Serta, juga menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Isu Sosial Yang Memiliki Dampak Luas Terhadap Pembangunan Nasional

Ia menegaskan bahwa perkawinan anak bukan sekadar persoalan pribadi atau keputusan keluarga semata. Tetapi, juga merupakan Isu Sosial Yang Memiliki Dampak Luas Terhadap Pembangunan Nasional. Arifah Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyampaikan bahwa praktik ini turut berkontribusi terhadap tingginya angka putus sekolah, rendahnya rata-rata lama pendidikan. Serta, juga meningkatnya prevalensi stunting di berbagai daerah. Terutama, wilayah dengan tingkat perkawinan anak yang tinggi. Menurutnya, perkawinan anak memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius, tidak hanya bagi individu yang terlibat. Tetapi, juga bagi masyarakat dan negara secara keseluruhan. Anak-anak yang di nikahkan sebelum usia cenderung menghadapi tantangan dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi yang layak. Hal ini memperbesar potensi kemiskinan antargenerasi dan memperlebar kesenjangan sosial.

“Menurunkan angka perkawinan anak berarti memberikan perlindungan nyata kepada anak-anak dari risiko yang dapat memengaruhi masa depan mereka. Dampaknya tidak hanya di rasakan saat ini, tetapi juga akan berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia di masa depan,” ujar Arifah. Ia menambahkan bahwa usia merupakan indikator penting yang mencerminkan kesiapan seseorang untuk memasuki kehidupan pernikahan. Karena itu, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa anak-anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman, mendukung. Serta, juga kondusif bagi perkembangan fisik, mental, dan sosial mereka. Upaya pencegahan harus melibatkan berbagai pihak, mulai dari keluarga, sekolah, komunitas, hingga lembaga pemerintah.

Arifah juga mengingatkan bahwa membiarkan praktik perkawinan anak terus berlangsung sama saja dengan mengorbankn potensi generasi muda. Oleh karena itu, ia mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berperan aktif dalam mengedukasi dan mendampingi anak-anak. Hal ini agar mereka dapat menjalani masa remaja dengan aman, sehat, dan penuh harapan.

Menyoroti Peran Penting

Arifah menyampaikan apresiasi yang tinggi terhadap upaya yang telah di lakukan oleh berbagai pihak di tingkat desa dalam mencegah terjadinya perkawinan usia dini. Ia Menyoroti Peran Penting yang di mainkan oleh Kepala Desa, Kepala Dusun, Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Hal ini dalam merespons kasus yang sempat viral tersebut. Selain itu, Arifah juga memberikan penghargaan kepada Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Stop Kekerasan Seksual di Nusa Tenggara Barat (NTB) atas inisiatif mereka melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian, khususnya Polres Mataram.

Menurut laporan yang di terima, para aparat desa bersama orang tua sudah mencoba melakukan berbagai langkah pencegahan agar pernikahan tidak terjadi. Sayangnya, pasangan remaja tersebut tetap bersikeras untuk menikah. Arifah menilai bahwa meskipun langkah-langkah ini patut di apresiasi, kejadian ini juga menjadi refleksi bahwa pencegahan seharusnya di mulai jauh lebih awal.

Ia menekankan pentingnya edukasi dan pendekatan sejak dini. Terutama, dalam lingkungan keluarga, agar anak-anak memahami risiko, konsekuensi hukum, tekanan psikologis. Di satu sisi juga dampak sosial dan ekonomi dari pernikahan di usia muda. Menurutnya, menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara sehat adalah kunci utama dalam mencegah praktik Perkawinan Anak.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait