Jum'at, 13 Juni 2025
Unjuk Rasa Pengemudi Ojek Online Tuntut Keadilan
Unjuk Rasa Pengemudi Ojek Online Tuntut Keadilan

Unjuk Rasa Pengemudi Ojek Online Tuntut Keadilan

Unjuk Rasa Pengemudi Ojek Online Tuntut Keadilan

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Unjuk Rasa Pengemudi Ojek Online Tuntut Keadilan
Unjuk Rasa Pengemudi Ojek Online Tuntut Keadilan

Unjuk Rasa Yang Di Rencakan Oleh Ribuan Pengemudi Ojek Online Mendapat Tanggapan Langsung Dari Menteri Perhubungan Indonesia. Di mana, Dudy Purwagandhi selaku Menhub menyatakan bahwa pemerintah tidak akan menghalangi pelaksanaan aksi tersebut. Tentu, selama ini di lakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Menhub menegaskan bahwa menyampaikan pendapat di ruang publik, termasuk melalui aksi demonstrasi, merupakan hak yang di jamin dalam konstitusi. Khususnya, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Dalam hal ini, pemerintah memegang prinsip bahwa unjuk rasa yang tertib dan damai merupakan bentuk aspirasi sah dari warga negara yang patut di hormati. Kendati demikian, Menhub juga memberikan arahan bahwa tuntutan yang ingin di sampaikan dalam unjuk rasa sebaiknya di fokuskan kepada pihak yang memiliki kewenangan langsung. Di mana, ini adalah perusahaan penyedia layanan transportasi daring seperti Gojek dan Grab. Menurutnya, isu-isu seperti pembagian komisi dan status kemitraan adalah bagian dari kebijakan internal korporasi.

Hal ini tentu berada di luar lingkup regulasi langsung pemerintah pusat. Ia menekankan bahwa peran pemerintah dalam situasi ini lebih kepada menjembatani komunikasi antara perusahaan dan mitra pengemudi, bukan mengatur rincian teknis sistem kemitraan yang telah di sepakati antara kedua belah pihak. Kemudian, Menhub mengajak para pengemudi untuk tetap menjaga ketertiban selama menyampaikan tuntutan. Hal ini bertujuan agar unjuk rasa yang di lakukan dapat menjadi sarana komunikasi yang konstruktif bukan memicu instabilitas atau konflik sosial yang lebih luas.

Lebih lanjut, sebagai langkah proaktif Kementerian Perhubungan telah mengambil inisiatif dengan memanggil sejumlah perusahaan aplikator. Hal ini bertujuan guna membahas keluhan para pengemudi. Sehingga fokus utama dalam diskusi tersebut adalah permasalahan sistem tarif dan status ketenagakerjaan mitra. Sehingga, pemberian diskon yang di anggap tidak berpihak kepada pengemudi serta ketidakjelasan sistem pembagian komisi.

Unjuk Rasa Menjadi Alat Yang Mendorong Adanya Respon Aktif Dari Pemerintah

Menhub secara tegas mempertanyakan kepada perusahaan-perusahaan tersebut tentang rincian mekanisme pembagian pendapatan dan kepastian hukum yang menyertainya. Dalam kerangka ini, Unjuk Rasa Menjadi Alat Yang Mendorong Adanya Respon Aktif Dari Pemerintah untuk mempertemukan pihak-pihak yang bertikai. Kemudian dalam pertemuan itu, perhatian Menhub tertuju pada potongan komisi yang di berlakukan oleh perusahaan aplikator. Ia menyoroti dugaan adanya pelanggaran terhadap Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022. Di mana keputusan ini yang mengatur bahwa maksimal potongan yang di perbolehkan hanya sebesar 20 persen dari tarif dasar. Selanjutnya, kecurigaan ini menjadi salah satu penyulut utama unjuk rasa, sebab para pengemudi merasa bahwa potongan yang mereka alami melebihi batas yang di atur pemerintah.

Di mana, mereka menganggap bahwa sistem yang berjalan saat ini tidak transparan dan menekan pendapatan mereka secara signifikan. Merespons isu tersebut, Catherine Hindra Sutjahyo selaku Presiden Unit Bisnis On-Demand Services dari PT Gojek Tokopedia Tbk memberikan klarifikasi. Ia menyatakan bahwa perusahaannya menjalankan sistem pembagian sesuai ketentuan yang berlaku. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dari total tarif dasar yang di bayarkan pengguna. Yang mana, 80 persen di berikan kepada mitra pengemudi, dan 20 persen sisanya menjadi hak perusahaan sebagai biaya layanan. Catherine menambahkan bahwa biaya tersebut tidak di ambil langsung dari penghasilan pengemudi. Namun, ini dari pembayaran konsumen kepada perusahaan. Di samping itu, ada tambahan biaya berupa “application service fee” yang sepenuhnya di bebankan kepada pengguna, bukan kepada mitra pengemudi. Maka, penjelasan ini seharusnya dapat menjawab sebagian dari keresahan yang akan di ungkapkan dalam unjuk rasa. Namun, kenyataannya masih banyak pengemudi yang belum memahami secara utuh struktur pembagian tersebut.

Di sisi lain, tidak sedikit dari mereka yang merasa pembagian di lakukan berdasarkan angka total termasuk biaya tambahan dari pengguna bukan dari tarif dasar. Hal ini menyebabkan asumsi bahwa perusahaan memotong lebih dari yang seharusnya.

Demi Mendapatkan Transparansi Dan Keadilan

Kesenjangan informasi inilah yang turut memperbesar semangat para pengemudi untuk menggelar unjuk rasa Demi Mendapatkan Transparansi Dan Keadilan. Di mana dalam kesempatan terpisah, Grab Indonesia melalui Chief of Public Affairs, Tirza Munusamy, juga memberikan penjelasan. Ia memaparkan simulasi sederhana terkait skema pembagian tarif. Bila tarif dasar perjalanan adalah Rp10.000, maka perusahaan akan mengambil 20 persen atau Rp2.000 sesuai ketentuan. Sementara itu, mitra pengemudi mendapatkan Rp8.000. Namun, seringkali pengemudi menilai pembagian di lakukan dari angka Rp12.000 yang mencakup application service fee sebesar Rp2.000. Kesalahan persepsi inilah yang menjadi salah satu pemicu utama unjuk rasa. Yang mana para pengemudi menuntut penjelasan lebih transparan mengenai struktur tarif dan potongan. Lebih lanjut, menurut Tirza biaya tambahan dari pengguna di alokasikan untuk mendukung keberlangsungan sistem digital yang kompleks. Ia menyampaikan bahwa proses yang tampak sederhana dari sisi pengguna sebenarnya di dukung oleh infrastruktur teknologi yang mahal.

Maka, biaya tambahan di anggap sebagai langkah wajar untuk menjaga kualitas layanan. Namun, penjelasan seperti ini perlu di sosialisasikan secara luas dan terbuka agar tidak menimbulkan kebingungan di lapangan yang bisa memicu unjuk rasa lebih besar di masa mendatang. Sehingga kondisi ini memperlihatkan bahwa polemik pembagian komisi antara perusahaan aplikator dan pengemudi belum menemukan titik temu yang jelas.

Lebih lanjut, perbedaan pandangan dan kurangnya pemahaman menjadi faktor dominan yang memperburuk situasi. Sehingga, ini mendorong para pengemudi untuk melakukan unjuk rasa sebagai sarana perjuangan atas hak-hak mereka. Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan telah berusaha untuk menjadi jembatan antara perusahaan dan mitra pengemudi. Upaya seperti mengundang perusahaan aplikator dan menggali informasi teknis tentang komisi adalah bentuk konkret dari keterlibatan aktif pemerintah. Di mana, status mitra pengemudi yang tidak dikategorikan sebagai karyawan tetap membuat banyak hak mereka tidak di lindungi secara penuh dalam sistem hukum nasional.

Media Partisipatif Yang Membuka Ruang Dialog Konstruktif

Unjuk rasa ini menjadi cermin bahwa kerangka hukum saat ini belum mampu menjawab kompleksitas hubungan kerja dalam ekosistem digital. Dari sudut pandang kebijakan publik, unjuk rasa para pengemudi dapat di maknai sebagai bentuk tekanan sosial yang konstruktif apabila di kelola dengan baik. Yang mana, bila aspirasi ini di akomodasi secara bijaksana, maka unjuk rasa tidak semata-mata menjadi bentuk perlawanan. Namun, ini menjadi pemicu reformasi yang lebih luas dalam sistem kerja transportasi daring di Indonesia.

Alih-alih di anggap sebagai bentuk perlawanan semata, aksi kolektif ini justru dapat menjadi Media Partisipatif Yang Membuka Ruang Dialog Konstruktif. Dalam situasi seperti ini, unjuk rasa bisa menjadi titik awal menuju transformasi sistemik yang berpihak kepada kepentingan bersama. Walaupun perusahaan seperti Gojek dan Grab telah memberikan sejumlah penjelasan. Sehingga, celah informasi yang belum terjembatani tetap menyisakan potensi konflik. Maka dari itu, peran pemerintah sebagai mediator yang netral dan transparan sangat penting untuk meredam ketegangan. Komitmen dari semua pihak untuk saling mendengar dan menyelesaikan persoalan secara bersama-sam. Pada akhirnya, ini akan menentukan arah pembenahan ekosistem transportasi daring ke depan. Dengan pendekatan yang kolaboratif, aksi ini berpotensi menjadi pendorong perubahan positif yang lebih luas dan bukan sekadar bentuk protes sepihak selain seperti aksi Unjuk Rasa.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait