Kenaikan Tarif PPN dan Dampaknya pada Ekonomi
Kenaikan Tarif PPN dan Dampaknya pada Ekonomi
Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai 11% Menjadi 12% Telah Di Rencakan Pemerintah Untuk Di Berlakukan Pada Januari 2025. Yang mana, ini sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Ini muncul di tengah kekhawatiran terkait dampak negatif terhadap daya beli masyarakat. Yang mana, kebijakan ini di sertai juga dengan rencana penurunan tarif Pajak Penghasilan badan dari 22% menjadi 20%. Penurunan ini juga di harapkan dapat meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional. Meskipun kenaikan tarif ini bertujuan memperbesar pendapatan negara. Namun, sejumlah pihak mempertanyakan apakah langkah tersebut merupakan kebijakan yang tepat. Beberapa pihak menilai kenaikan tarif PPN ini justru dapat membebani sektor bisnis. Serta, konsumen yang harus menanggung biaya tambahan yang pada akhirnya berpotensi mengurangi daya beli masyarakat. Kemudian, pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Tauhid Ahmad, seorang peneliti senior di Institute for Development of Economics and Finance menyuarakan kekhawatirannya.
Yang mana, ia menyebutkan bahwa kenaikan tarif ini dapat menekan potensi pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Tauhid, kenaikan tarif PPN sebesar satu persen ini akan berdampak pada pelaku usaha. Yang mana, ini berdampak pada kenaikan biaya produksi yang akhirnya di bebankan pada konsumen. Dengan kenaikan tarif yang di terapkan tersebut, harga akhir barang dan jasa akan naik. Pada akhirnya, kenaikan tarif ini dapat mendorong konsumen untuk mengurangi pengeluaran mereka di berbagai sektor. Dampak lanjutan yang akan terjadi ialah pada penurunan daya beli secara umum. Lebih jauh lagi, dampak dari kenaikan tarif ini berpotensi menyebabkan perhitungan pajak ganda. Terutama pada produk-produk yang melalui banyak tahap distribusi sebelum mencapai konsumen akhir. Yang mana, kenaikan tarif pada setiap level distribusi akan meningkatkan beban biaya. Serta, memicu efek domino yang memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Dengan meningkatnya harga barang, kenaikan tarif juga akan berimbas pada kenaikan inflasi. Sehingga, hal ini akan semakin memperburuk daya beli masyarakat.
Kenaikan Tarif Ini Di Khawatirkan Akan Memberikan Tekanan Khusus
Kenaikan Tarif Ini Di Khawatirkan Akan Memberikan Tekanan Khusus pada sektor-sektor yang sensitif terhadap perubahan pajak. Seperti contoh, industri manufaktur, sehingga ini dapat menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja dalam jangka panjang. Tauhid juga menyinggung pengalaman kenaikan tarif PPN pada periode 2022 sampai 2023. Yang mana, saat itu tarif naik dari 10% menjadi 11%. Meskipun kenaikan tarif saat itu berhasil meningkatkan penerimaan negara secara signifikan hingga lebih dari 100 triliun rupiah. Namun, dampaknya terhadap perekonomian nasional justru memicu stagnasi pada tahun 2024. Hal ini terutama pada sisi konsumsi masyarakat.
Tauhid menilai bahwa kenaikan tarif PPN sebelumnya memiliki dampak sisa yang memperlambat aktivitas konsumsi. Yang mana, seharusnya menjadi penggerak utama perekonomian Indonesia. Merespons situasi ini, INDEF menyarankan agar pemerintah menunda kenaikan tarif hingga kondisi ekonomi dalam negeri lebih stabil. Serta, menunggu hingga hambatan ekonomi global mulai mereda. Tauhid menunjukkan bahwa banyak negara lain masih mempertahankan tarif PPN di bawah 12%. Bahkan, ada yang tetap di kisaran 10%. Sebagai alternatif atas kenaikan tarif, INDEF merekomendasikan peningkatan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Yang mana, peningkatan tersebut melalui teknologi untuk memperluas basis wajib pajak. Sehingga, meningkatkan pendapatan tanpa harus menaikkan tarif PPN. Dalam konteks program sosial, Tauhid juga memberikan perhatian pada program makan siang bergizi yang di rencanakan pemerintah. Yang mana, program tersebut bertujuan memberikan makan siang gratis bagi anak-anak sekolah.
Jika di tilik, ini memiliki risiko meningkatkan ketergantungan impor bahan pangan. Hal ini di karenakan banyak bahan dasar pangan masih bergantung pada impor. Yang mana, dalam situasi tanpa program makan siang pun, Indonesia sudah mengimpor hampir 3 juta ton beras setiap tahun. Tauhid menyarankan agar pemerintah melibatkan UMKM lokal dalam penyediaan bahan pangan untuk mengurangi ketergantungan impor. Yang mana, dengan melibatkan UMKM lokal dari petani hingga pelaku usaha kecil, pemerintah dapat memperkuat ketahanan ekonomi dalam negeri dan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
Memperkuat Ketahanan Pangan Dan Kesehatan Anak-Anak
Tauhid menggarisbawahi bahwa keterlibatan UMKM dalam penyediaan pangan seperti peternak mandiri yang memasok telur atau daging ayam lokal. Yang mana, ini akan memberikan dampak ekonomi yang lebih besar dan langsung kepada masyarakat. Dengan begitu, selain Memperkuat Ketahanan Pangan Dan Kesehatan Anak-Anak, dampak program makan siang ini juga dapat berkontribusi positif. Terutama pada perekonomian melalui pelaku usaha lokal. Tauhid memperkirakan, jika pemerintah bermitra dengan perusahaan besar, dampak ekonomi lokal ini akan berkurang. Selanjutnya, program makan siang bergizi ini juga merupakan janji kampanye Presiden terpilih Prabowo Subianto. Yang mana, Presiden Prabowo menargetkan hampir 83 juta anak sekolah sebagai target program ini. Sehingga, untuk memenuhi target ini, di perlukan lebih dari 6 juta ton beras, 1 juta ton daging ayam, dan 4 juta kiloliter susu sapi segar setiap tahun.
Program ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan kesehatan anak-anak. Namun, juga untuk membuka peluang ekonomi bagi UMKM yang menyediakan bahan pangan. Dalam jangka panjang, program makan siang ini di harapkan dapat meningkatkan kualitas SDM Indonesia melalui pemenuhan gizi yang lebih baik sejak dini. Tauhid menegaskan bahwa dampak nyata program ini dalam meningkatkan kualitas SDM Indonesia baru akan terlihat dalam jangka menengah hingga panjang. Terutama, ketika anak-anak yang tumbuh dengan gizi cukup berperan dalam angkatan kerja yang lebih sehat dan produktif di masa mendatang. Di sisi lain, Baintelkam Polri melalui Direktur Ekonomi Brigjen Pol Ratno Kuncoro turut berperan dalam menyerap masukan dari pakar ekonomi. Yang mana, hal ini terkait dengan kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi stabilitas ekonomi.
Kuncoro menjelaskan bahwa Polri juga ingin memperkuat perekonomian nasional sebagai respons terhadap arahan Presiden Prabowo. Yang mana, Presiden Prabowo menginginkan sinergi antara sektor keamanan dan ekonomi. Selanjutnya, dalam pertemuan tersebut, pakar ekonomi dari berbagai institusi termasuk INDEF membahas isu-isu utama yang memengaruhi stabilitas ekonomi.
Di Harapkan Mampu Menambah Pendapatan Negara
Hasil dialog tersebut di jadikan masukan berharga bagi Polri untuk merumuskan kebijakan yang komprehensif. Terutama, dalam mendukung pertumbuhan industri nasional dan menjaga stabilitas ekonomi. Kemudian, Kuncoro menyatakan bahwa upaya ini merupakan bagian dari komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Yang mana, komitmen tersebut untuk berperan dalam menciptakan stabilitas ekonomi yang menjadi fondasi bagi keberhasilan pembangunan nasional. Serta, sekaligus memastikan bahwa industri dalam negeri mampu bersaing secara global.
Melalui kebijakan dan langkah-langkah ini, pemerintah memperlihatkan komitmennya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Serta, meningkatkan daya saing nasional meskipun kekhawatiran terhadap dampak kenaikan tarif tetap menjadi perhatian. Di satu sisi, kebijakan kenaikan tarif ini Di Harapkan Mampu Menambah Pendapatan Negara. Yang mana, nantinya dapat di manfaatkan untuk program-program strategis. Namun, di sisi lain, penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri agar tetap kokoh. Yang mana, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari sektor yang berbeda. Memungkinkan pemerintah memiliki kesempatan untuk mengevaluasi dampak yang mungkin di timbulkan dari kebijakan ini. Serta, upaya menyusun langkah yang lebih inklusif demi keberlanjutan ekonomi jangka panjang akibat PPN yang mengalami Kenaikan Tarif.