Dasar Pengenaan Pajak: Kebijakan yang Berkeadilan
Dasar Pengenaan Pajak: Kebijakan yang Berkeadilan
Dasar Pengenaan Pajak Menjadi Elemen Utama Yang Di Tekankan Oleh Pemerintah Dalam Menjelaskan Kebijakan Perpajakan Terkait PPN. Yang mana, kebijakan ini di fokuskan serta akan di terapkan terhadap transaksi uang elektronik. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan hal yang menjadi acuan dalam perhitungan pajak. Yang mana, acuan tersebut bukan berdasar dari nilai transaksi jual beli, sisa saldo, atau nilai pengisian ulang saldo atau top up. Namun sebaliknya, dasar pengenaan pajak yang berlaku adalah jasa layanan yang berkaitan langsung dengan penggunaan uang elektronik tersebut. Yang mana, penjelasan ini di berikan untuk merespons kekhawatiran publik. Terutama, atas isu kenaikan tarif PPN pada transaksi uang elektronik menjadi 12 persen yang akan di rencanakan berlaku mulai 2025. Pemerintah sendiri memastikan bahwa penerapan PPN pada layanan ini bukanlah kebijakan baru. Melainkan, telah di atur secara jelas dalam regulasi sebelumnya. Maka, langkah ini menunjukkan komitmen untuk mempertahankan konsistensi dalam sistem perpajakan serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Selanjutnya, menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti. Ia menyatakan bahwa landasan hukum penerapan PPN tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022. Yang mana, aturan ini mengatur Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas penyelenggaraan teknologi finansial. Sehingga, dasar pengenaan pajak yang berlaku adalah jasa layanan yang di sediakan dalam penggunaan uang elektronik atau dompet digital. Dengan demikian, objek pajak bukanlah nilai nominal pengisian ulang atau saldo. Namun, dasar pengenaanya berdasarkan biaya layanan yang di kenakan.
Sebagai ilustrasi, jika biaya top up sebesar Rp1.500 di kenakan PPN dengan tarif 11 persen. Maka, jumlah pajak yang terutang hanya Rp165. Namun, apabila tarif di naikkan menjadi 12 persen, PPN yang di kenakan menjadi Rp180. Sehingga, dalam perhitungan ilustrasi tersebut terdapat perbedaan hanya Rp15. Hal ini menekankan bahwa kenaikan tarif PPN tidak memberikan beban yang signifikan pada konsumen.
Dasar Pengenaan Pajak Di Terapkan Pada Layanan Digital
DJP menjelaskan lebih lanjut bahwa dasar pengenaan pajak dalam transaksi lainnya, seperti melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Yang mana, transaksi melalui QRIS terseebut di kategorikan sebagai bagian dari jasa sistem pembayaran. Hal ini berdasarkan PMK 69/PMK.03/2022, di mana PPN di kenakan pada Merchant Discount Rate (MDR). Hal ini berarti, biaya yang di bebankan oleh penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) kepada pemilik merchant. Sehingga, penetapan ini memastikan bahwa pajak hanya berlaku pada jasa yang di sediakan oleh PJSP. Serta, DJP kembali menekankan bahwa bukan pada nilai transaksi yang di lakukan konsumen. Hal ini dapat di lihat bahwa, sebagai salah satu komponen jasa sistem pembayaran, QRIS bukanlah objek pajak baru. Melainkan, QRIS sendiri telah lama di atur dalam kerangka hukum yang ada.
Selanjutnya, Dasar Pengenaan Pajak Di Terapkan Pada Layanan Digital yang berkembang pesat juga. Seperti contoh langganan platform Youtube, Spotify, dan Netflix Premium. Yang mana, layanan ini masuk dalam kategori PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Hal ini sebagaimana di atur dalam PMK 60/PMK.03/2022. Lebih lanjut, platform-platform tersebut telah di tunjuk sebagai pemungut PPN untuk layanan mereka di Indonesia. Sehingga, biaya langganan yang di kenakan pada konsumen sudah mencakup PPN sesuai ketentuan. Maka dari itu, tidak ada pertambahan biaya yang menjadi tambahan beban pajak baru.
Dasar pengenaan pajak di sini adalah pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud. Atau, dapat di sebut dengan jasa kena pajak yang di peroleh konsumen dari luar negeri melalui perdagangan elektronik. Selain itu, transaksi penjualan voucher, token listrik, kartu perdana, dan pulsa juga telah di kenakan PPN. Yang mana, peraturan ini mengatur penghitungan dan pemungutan PPN serta Pajak Penghasilan atas penjualan tersebut. Sehingga dalam kasus ini, dasar pengenaan pajak tetap konsisten pada jasa layanan yang di berikan dalam transaksi tersebut.
Hampir Semua Fraksi Di DPR Mendukung Kebijakan Ini
Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan memaparkan bahwa kenaikan tarif PPN terakhir sebelum menjadi 12 persen mulai tahun 2025 telah di rancang dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dan kondisi ekonomi nasional. Yang mana, penyesuaian ini merupakan bagian dari UU HPP Nomor 7 Tahun 2021. UU HPP ini di sahkan pada 29 September 2021 lalu. Lebih lanjut, Undang-undang ini tidak hanya menjadi regulasi dalam perpajakan, namun juga memayungi kebijakan yang berkontribusi dalam pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Dengan landasan hukum yang kuat, kenaikan tarif ini di lakukan secara bertahap. Yang mana, untuk memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat dan pelaku usaha dalam menyesuaikan diri.
Sri Mulyani kembali menegaskan bahwa Hampir Semua Fraksi Di DPR Mendukung Kebijakan Ini. Yang mana, dengan memberikan perhatian khusus kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Maka, pembebasan atau pengurangan PPN di fasilitasi oleh Undang-Undang HPP ini. Yang mana, pembebasan atau pengurangan ini di peruntukkan terhadap kebutuhan barang pokok yang di konsumsi masyarakat. Dalam hal ini seperti jasa sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan pangan.
Kemudian, dasar pengenaan pajak untuk barang dan jasa ini di rancang agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat luas. Yang mana, tujuan utama dari kebijakan ini ialah upaya dalam peringanan beban masyarakat. Tentu, dengan meratanya akses yang di berikan dan mendukung stabilitas daya beli masyarakat. Dalam konteks pemulihan ekonomi nasional, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 di rancang sebagai langkah awal untuk memperkuat pendapatan negara. Yang mana pada langkah berikutnya, kenaikan menjadi 12 persen, akan di berlakukan pada Januari 2025. Kebijakan ini mencerminkan pendekatan pemerintah yang berorientasi pada keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan fiskal negara dan perlindungan daya beli masyarakat. Sehingga, dasar pengenaan pajak yang di terapkan pada berbagai sektor menunjukkan upaya pemerintah untuk tetap pro-rakyat. Yang meskipun ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan penerimaan negara.
Pemerintah Terus Memberikan Perhatian Khusus Kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Penerapan PPN yang berbasis pada dasar pengenaan pajak yang jelas dan konsisten menjadi bagian dari strategi pemerintah. Terutama, dalam menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan. Dengan mempertimbangkan berbagai sektor mulai dari jasa layanan elektronik, sistem pembayaran, hingga langganan platform digital. Sehingga, kebijakan yang di rancang ini agar tetap relevan dengan perkembangan ekonomi digital. Di sisi lain, pengaturan yang matang memastikan bahwa masyarakat dapat memahami dan menerima kebijakan ini sebagai langkah positif. Yang tentunya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di rancang secara bertahap dan berdasarkan perencanaan yang komprehensif. Yang dalam pelaksanaannya, dasar pengenaan pajak memastikan bahwa beban pajak hanya di kenakan pada jasa layanan tertentu. Sehingga, tidak membebani masyarakat secara berlebihan. Di lain sisi, Pemerintah Terus Memberikan Perhatian Khusus Kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Yang mana, dengan menyediakan fasilitas pembebasan PPN untuk barang dan jasa kebutuhan pokok. Sehingga, kebijakan ini tidak hanya di tujukan untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun, juga memastikan bahwa kesejahteraan masyarakat tetap menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan fiskal. Penerapan dasar pengenaan pajak yang jelas di berbagai sektor menjadi fondasi utama. Yang tentunya dalam menciptakan sistem perpajakan yang inklusif, adil, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat melalui penerapan Dasar Pengenaan Pajak.