
Pasar Saham Global, dalam dua tahun terakhir, pasar saham global di selimuti euforia luar biasa terhadap perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI). Setiap laporan pendapatan perusahaan teknologi besar seperti Nvidia, Microsoft, Alphabet, dan Meta tampak seperti bukti bahwa revolusi industri digital baru telah di mulai. Investor, baik ritel maupun institusional, berbondong-bondong masuk ke saham AI dengan ekspektasi keuntungan besar. Namun, apa yang tampak seperti tren masa depan kini berubah menjadi sumber kekhawatiran mendalam: potensi gelembung saham AI yang mulai pecah.
Pada minggu pertama November 2025, indeks Nasdaq Composite di Amerika Serikat mencatat penurunan harian terbesar dalam lebih dari dua tahun, mencapai 4,2%. Penurunan ini terjadi setelah laporan pendapatan beberapa perusahaan teknologi menunjukkan perlambatan pertumbuhan pendapatan dari proyek-proyek berbasis AI. Nvidia, yang selama dua tahun terakhir menjadi simbol “boom” AI, kehilangan hampir 11% nilai pasar hanya dalam dua hari. Saham-saham lain seperti AMD, Palantir, dan C3.ai juga ikut anjlok.
Sebagai contoh, valuasi Nvidia pada pertengahan tahun 2025 mencapai hampir USD 3 triliun, mendekati kapitalisasi Apple. Padahal pendapatan tahunan perusahaan itu hanya seperempat dari Apple. Ketimpangan ini memperlihatkan pola yang sangat mirip dengan gelembung dot-com pada tahun 2000. Di mana ekspektasi investor terhadap “masa depan internet” membuat valuasi perusahaan melambung jauh melampaui kenyataan.
Selain faktor valuasi, ada pula tekanan dari sisi makroekonomi. Federal Reserve (The Fed) mempertahankan suku bunga di level tinggi selama lebih dari satu tahun, membuat biaya pinjaman perusahaan meningkat. Banyak startup AI yang sebelumnya bergantung pada pendanaan murah kini kesulitan menjaga arus kas. Beberapa bahkan sudah mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran untuk bertahan.
Pasar Saham Global, investor global yang dulu percaya bahwa AI akan menjadi “jalan cepat menuju kekayaan” kini mulai berhati-hati. Perubahan sentimen ini menciptakan efek domino yang merembet ke bursa di seluruh dunia.
Efek Domino Di Asia Dan Eropa: Pasar Internasional Ikut Terimbas
Efek Domino Di Asia Dan Eropa: Pasar Internasional Ikut Terimbas, dampak kejatuhan saham teknologi Amerika segera terasa di bursa Asia dan Eropa. Di Jepang, indeks Nikkei 225 turun hampir 4%, sementara TOPIX kehilangan 3,5%. Saham-saham teknologi Jepang seperti Tokyo Electron, Advantest, dan SoftBank Group menjadi korban utama. Pasar menilai ketiganya terlalu bergantung pada ekspor chip ke Amerika Serikat dan China, dua negara yang kini tengah terlibat perang dagang teknologi.
Di Korea Selatan, KOSPI juga tertekan 3%, dengan Samsung Electronics dan SK Hynix memimpin penurunan. Kedua raksasa semikonduktor itu mengalami tekanan setelah laporan menunjukkan penurunan permintaan chip memori AI yang lebih besar dari perkiraan. Industri chip, yang selama 18 bulan terakhir menjadi “urat nadi” revolusi AI, kini menghadapi fase koreksi besar.
Sementara itu, Shanghai Composite Index di China melemah 2,8%. Beijing menghadapi tekanan tambahan karena pemerintah AS terus memperketat pembatasan ekspor chip canggih ke perusahaan teknologi Tiongkok. Beberapa analis menilai langkah ini memperlambat ambisi China untuk mencapai kemandirian dalam teknologi AI.
Di Eropa, STOXX 600 Technology Index anjlok hampir 5%. Saham ASML Holding NV, pemasok mesin litografi chip asal Belanda, kehilangan lebih dari 6% nilainya. Padahal ASML adalah pemain kunci dalam rantai pasok global semikonduktor. Para analis di Frankfurt memperingatkan bahwa gangguan perdagangan antara AS dan China dapat menekan ekspor teknologi Eropa hingga 2026.
Di Indonesia, IHSG ikut terseret arus global dengan penurunan 1,4%. Investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 2,1 triliun dalam dua hari. Saham-saham sektor teknologi dan keuangan menjadi penekan utama, termasuk GoTo, Bukalapak, dan beberapa bank besar. Nilai tukar rupiah melemah ke level Rp 15.950 per dolar AS, tertinggi dalam enam bulan terakhir.
Spekulasi, Narasi, Dan Psikologi Investor Di Era AI
Spekulasi, Narasi, Dan Psikologi Investor Di Era AI, gelembung pasar tidak hanya terbentuk karena data keuangan — ia lahir dari psikologi manusia. Lonjakan harga saham AI sejak 2023 hingga pertengahan 2025 mencerminkan kombinasi antara FOMO (fear of missing out), ekspektasi berlebihan, dan narasi besar tentang “masa depan AI.”
Menurut laporan dari Bank of International Settlements (BIS), peningkatan harga saham AI menunjukkan pola klasik “manic phase” dalam siklus spekulatif pasar. Investor percaya bahwa teknologi AI akan mengubah dunia. Dan keyakinan itu menciptakan spiral harga yang terus naik, hingga akhirnya tidak lagi di dukung oleh kinerja nyata.
Salah satu contoh paling mencolok adalah lonjakan saham C3.ai, perusahaan perangkat lunak yang sahamnya naik lebih dari 300% hanya dalam enam bulan. Namun laporan keuangan terbaru menunjukkan kerugian operasional yang masih tinggi, sementara pertumbuhan pendapatan stagnan. Ketika investor mulai sadar akan ketimpangan tersebut, harga sahamnya turun drastis.
Fenomena ini mirip dengan ledakan dot-com bubble dua dekade lalu. Saat itu, investor menaruh uang pada setiap perusahaan yang memiliki embel-embel “.com,” terlepas dari model bisnisnya. Kini, pola serupa terjadi dengan kata kunci “AI.”
Profesor Robert Shiller, peraih Nobel Ekonomi, pernah menulis bahwa gelembung ekonomi terbentuk bukan karena keserakahan semata. tapi karena “cerita besar yang di percaya banyak orang.” Dalam konteks ini, narasi bahwa AI akan menggantikan manusia, meningkatkan efisiensi, dan menciptakan triliunan dolar nilai ekonomi — menjadi semacam “mitos modern” yang mendorong spekulasi.
Investor besar seperti Cathie Wood dari ARK Invest bahkan memperkirakan nilai pasar AI global bisa mencapai USD 200 triliun pada 2030. Proyeksi semacam ini memperkuat sentimen pasar, meski tidak semuanya berbasis data realistis.
Kini, dengan terjadinya koreksi besar, sebagian investor mulai mempertanyakan apakah mereka sedang menyaksikan “akhir dari fase euforia AI” atau sekadar jeda sementara sebelum reli berikutnya.
Respons Regulator, Strategi Investor, Dan Masa Depan Pasar AI
Respons Regulator, Strategi Investor, Dan Masa Depan Pasar AI, regulator keuangan di berbagai negara mulai mengambil langkah antisipatif. U.S. Securities and Exchange Commission (SEC) mengumumkan rencana untuk meninjau ulang perusahaan publik yang terlalu sering mengklaim penggunaan “AI” tanpa bukti nyata dalam laporan tahunan mereka. Langkah ini bertujuan mencegah praktik AI-washing — di mana perusahaan menambahkan embel-embel AI hanya untuk menarik investor.
Sementara itu, di Eropa, European Securities and Markets Authority (ESMA) mulai menyiapkan pedoman baru. Agar perusahaan lebih transparan soal penggunaan algoritma dalam pengambilan keputusan bisnis. ESMA juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap potensi risiko sistemik jika gelembung AI benar-benar pecah.
Dalam konteks jangka panjang, tidak dapat di sangkal bahwa AI tetap menjadi salah satu kekuatan ekonomi utama abad ini. Menurut McKinsey Global Institute, teknologi AI di perkirakan akan menambah nilai ekonomi global hingga USD 25 triliun per tahun pada 2035. Namun manfaat ini baru akan terasa jika infrastruktur digital, regulasi data, dan kesiapan tenaga kerja sejalan.
Di Indonesia, Kementerian Keuangan bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah meninjau potensi dampak perkembangan AI terhadap sektor keuangan domestik. Pemerintah juga mulai mengkaji kemungkinan pemberian insentif bagi startup AI yang berorientasi ekspor, sambil menjaga stabilitas sistem keuangan agar tidak terbawa arus spekulasi global.
Menariknya, meski banyak yang pesimis, sebagian analis memprediksi bahwa pasar AI justru akan memasuki fase “realisasi produktif” mulai 2026. Fase di mana perusahaan mulai menyesuaikan ekspektasi dan mengubah investasi spekulatif menjadi inovasi nyata yang menghasilkan nilai ekonomi.
Dalam jangka pendek, volatilitas tinggi mungkin akan terus membayangi pasar global. Namun, bagi investor yang sabar dan selektif, fase ini bisa menjadi momen emas untuk menilai ulang portofolio dan berinvestasi pada inovasi yang benar-benar berkelanjutan Pasar Saham Global.