
Adopsi Mobil Listrik Melaju, dalam tiga tahun terakhir, mobil listrik (EV) mengalami pertumbuhan yang sangat pesat di Indonesia. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan bahwa hingga Oktober 2025, total penjualan mobil listrik mencapai lebih dari 27.000 unit, naik hampir 90 persen di banding tahun sebelumnya.
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan 2 juta kendaraan listrik beroperasi di jalan pada tahun 2030. Target ini menjadi bagian dari strategi nasional untuk menurunkan emisi karbon hingga 31,89 persen secara mandiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional.
Merek-merek global seperti Hyundai, Wuling, BYD, dan Tesla kini menjadi pemain dominan di pasar kendaraan listrik Indonesia. Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air EV, misalnya, menjadi dua model paling laris berkat kombinasi antara harga yang kompetitif dan dukungan layanan purna jual yang luas.
Menurut Asosiasi Pengusaha Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo), minat terhadap EV di pengaruhi oleh tiga faktor utama. Efisiensi energi, insentif pajak, dan meningkatnya ketersediaan model di berbagai segmen harga. Pemerintah telah menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk kendaraan listrik menjadi 1 persen. Serta memberikan subsidi hingga Rp 7 juta untuk sepeda motor listrik.
Namun, di balik angka pertumbuhan yang mengesankan, muncul satu persoalan besar yang menjadi sorotan. Infrastruktur pengisian daya (charging station) yang belum memadai. Meskipun jumlah kendaraan listrik bertambah pesat, jumlah stasiun pengisian daya umum masih sangat terbatas.
Menurut data Kementerian ESDM, hingga akhir 2025 hanya ada sekitar 1.470 unit SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) yang beroperasi di seluruh Indonesia. Angka yang masih jauh dari target 30.000 unit pada 2030.
Adopsi Mobil Listrik Melaju, keterbatasan infrastruktur inilah yang membuat adopsi kendaraan listrik di luar kota besar berjalan lambat, karena sebagian besar konsumen masih ragu terkait jangkauan perjalanan dan kemudahan pengisian daya.
Infrastruktur Masih Jadi Tantangan Utama
Infrastruktur Masih Jadi Tantangan Utama, masalah infrastruktur pengisian daya menjadi hambatan paling nyata dalam percepatan adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai program dan peta jalan (roadmap), implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak kendala, baik dari sisi teknis maupun regulasi.
Saat ini, PT PLN (Persero) menjadi pemain utama dalam pembangunan SPKLU. Namun, sebagian besar fasilitas pengisian daya masih terkonsentrasi di kawasan Jabodetabek. Sedangkan daerah-daerah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara masih sangat minim.
Biaya pembangunan satu unit SPKLU tipe fast charging bisa mencapai Rp 750 juta hingga Rp 1,2 miliar, tergantung kapasitas dan teknologi yang di gunakan. Angka ini membuat partisipasi sektor swasta masih rendah karena pengembalian investasi (ROI) membutuhkan waktu lama.
Selain itu, standar teknis pengisian daya di Indonesia masih belum seragam. Saat ini ada berbagai jenis colokan (connector) yang di gunakan — mulai dari GB/T (Tiongkok), CHAdeMO (Jepang), hingga CCS2 (Eropa). Hal ini menyulitkan pengguna karena tidak semua SPKLU kompatibel dengan setiap jenis kendaraan.
Selain masalah teknis, kendala lain datang dari ketersediaan lahan. Banyak pengembang properti dan pengelola pusat perbelanjaan enggan menyediakan ruang khusus untuk SPKLU karena belum melihat keuntungan langsung.
PLN bersama pemerintah berencana mendorong skema kerja sama publik-swasta (PPP) untuk mempercepat penyebaran infrastruktur. Dalam skema ini, pihak swasta akan mendapat insentif berupa keringanan pajak, subsidi listrik, serta kemudahan izin lokasi.
Sementara itu, di kawasan industri dan pelabuhan, sejumlah proyek pilot mulai di jalankan. Misalnya, Kawasan Industri Kendal (Jawa Tengah) dan KEK Batang telah memasang SPKLU internal untuk mendukung operasional logistik menggunakan kendaraan listrik.
Namun secara keseluruhan, jika di bandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN seperti Thailand dan Singapura, infrastruktur Indonesia masih tertinggal jauh. Thailand telah memiliki lebih dari 5.000 titik pengisian daya publik, sementara Singapura bahkan menargetkan 60.000 titik pengisian pada tahun 2030.
Peran Pemerintah Dan Dunia Usaha Dalam Mempercepat Transisi
Peran Pemerintah Dan Dunia Usaha Dalam Mempercepat Transisi, Pemerintah Indonesia menyadari pentingnya infrastruktur sebagai tulang punggung keberhasilan transisi ke kendaraan listrik. Oleh karena itu, sejak 2023 pemerintah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 yang di revisi menjadi Perpres Nomor 79 Tahun 2023. Tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB).
Melalui regulasi tersebut, pemerintah memberikan berbagai insentif dan kemudahan perizinan. Bagi investor yang ingin membangun fasilitas pengisian daya maupun memproduksi komponen lokal.
Salah satu langkah besar adalah pembentukan Indonesia Battery Corporation (IBC). Yang bekerja sama dengan LG Energy Solution dan CATL untuk membangun rantai pasok baterai dari hulu ke hilir, mulai dari tambang nikel hingga pabrik perakitan kendaraan listrik.
Selain itu, pemerintah daerah juga mulai ikut serta. DKI Jakarta menjadi salah satu contoh paling aktif dengan memasang lebih dari 200 SPKLU publik di gedung pemerintahan, mal, dan rest area. Pemprov juga memberi diskon pajak kendaraan hingga 90 persen untuk pemilik EV.
Sektor swasta pun mulai terlibat lebih luas. Perusahaan seperti Pertamina, Shell, dan BP-AKR kini menyediakan fasilitas pengisian daya di SPBU mereka. Startup lokal seperti Voltron, Starvo, dan ChargeIn juga hadir dengan layanan SPKLU berbasis aplikasi yang memudahkan pengguna mencari lokasi terdekat dan memesan waktu pengisian.
Di sisi lain, sejumlah perusahaan ride-hailing seperti Gojek dan Grab telah mengadopsi ribuan sepeda motor listrik dalam armada mereka. Langkah ini di anggap sebagai katalis penting karena mempercepat eksposur masyarakat terhadap kendaraan listrik dalam aktivitas sehari-hari.
Jika masalah koordinasi dan insentif dapat di selesaikan dengan cepat, para ahli memperkirakan bahwa Indonesia bisa mencapai 50 persen kendaraan listrik di pasar domestik pada tahun 2035. Namun, tanpa infrastruktur dan kepastian kebijakan, transisi ini bisa tertunda hingga satu dekade.
Harapan Dan Tantangan Ke Depan
Harapan Dan Tantangan Ke Depan, masa depan kendaraan listrik di Indonesia akan sangat di tentukan oleh sinergi antara kebijakan, industri, dan konsumen. Pemerintah perlu memastikan kebijakan yang konsisten dan insentif yang berkelanjutan. Sementara pelaku industri harus terus berinovasi untuk menekan harga kendaraan listrik agar semakin terjangkau.
Salah satu tantangan besar adalah ketersediaan bahan baku baterai dan pengelolaan limbahnya. Meskipun Indonesia kaya akan nikel, proses pengolahan bahan baku hingga menjadi baterai masih di dominasi oleh perusahaan asing. Hal ini berpotensi membuat biaya produksi EV tetap tinggi jika tidak ada transfer teknologi yang efektif.
Selain itu, edukasi publik menjadi kunci. Banyak masyarakat masih ragu beralih ke mobil listrik karena khawatir tentang umur baterai, biaya perawatan, dan jaringan bengkel. Pemerintah dan produsen perlu meningkatkan kampanye literasi energi bersih dan memastikan adanya jaminan layanan purna jual yang memadai.
“Adopsi EV bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal kepercayaan. Masyarakat perlu di yakinkan bahwa kendaraan listrik efisien, aman, dan mudah di rawat,” ujar Rizal Yahya, analis otomotif dari Mandiri Sekuritas.
Dalam jangka panjang, transisi ke kendaraan listrik akan membawa dampak positif bagi perekonomian nasional. Studi dari LPEM UI menunjukkan bahwa setiap 100.000 unit mobil listrik yang beroperasi dapat menghemat lebih dari Rp 1 triliun dalam impor bahan bakar setiap tahunnya. Sekaligus mengurangi emisi hingga 300.000 ton CO₂.
Namun semua manfaat itu hanya akan tercapai jika pemerintah dan industri bergerak cepat memperkuat fondasi infrastruktur. Tanpa SPKLU yang memadai, target Indonesia untuk menjadi pusat kendaraan listrik Asia Tenggara masih akan sulit terwujud.
“Transisi kendaraan listrik bukan sekadar tren, tetapi masa depan industri otomotif dunia. Indonesia harus memastikan tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga pemain utama,” tutup Fabby Tumiwa dari IESR Adopsi Mobil Listrik Melaju.